Kamis, 30 Maret 2023

 Analisis Sosial Terhadap Kaum Feminisme: Misinterpretasi “Pelayan dan Perbudakan” Dalam Relasi Suami-Istri Menurut Prespektif Islam.

Oleh: Saminur Fauzan/Universitas Muhammadiyah Surakarta

    Nyaris kita sering mendengar tentang masalah sosial dan boleh jadi kita bisa menyebutkan beberapa hal yang termasuk ke dalam masalah sosial. Namun untuk menentukan hal yang sejatinya disebut masalah sosial perlu metode yang biasa disebut dengan analisis sosial.

    Hematnya, analisis sosial adalah sebuah skema tentang interaksi antar faktor dalam rangka memecahkan masalah sosial. Secara mendetail analisis sosial berusaha untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang: situasi sosial, hubungan struktural, kultural (budaya) dan historis (sejarah) sehingga memungkinkan untuk menangkap dan memahami realitas sosial yang dihadapi untuk selanjutnya dicarikan solusi permasalahannya. Menurut lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) analisis sosial menjadi perlu karena hal-hal berikut: 

  • Pertama, sangat berguna untuk pemahaman dan identifikasi masalah secara lebih seksama sampai tahap melihat akar masalah dan ranting masalah.
  • Kedua, dapat digunakan untuk menggali serta menyelami potensi (kekuatankelemahan-peluang-tantangan) yang ada pada komunitas.
  • Ketiga, menguntungkan untuk membangun ukuran dengan lebih baik bagi kelompok yang dirugikan.
  • Keempat, efektif untuk membangun prediksi berupa tindakan-tindakan sebagai upaya mengubah keadaan. 

    Saya melihat perempuan kerap lekat dengan stigma harus terlihat cantik, indah, lembut, berada di rumah mengurus rumah tangga, menjadi istri dan ibu yang baik, pandai masak, taat dan tidak boleh berkata kasar dan sebagainya. Salah satu kekerasan psikis yang dirasakan oleh perempuan adalah pandangan dan perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Umumnya anggapan-anggapan tersebut tidak terlalu penting karena perempuan sudah memiliki porsi masing-masing.

    Perempuan secara etimologi diambil dari penggalan kata empu berarti tuan yakni orang yang mahir, berkuasa, ketua,paling besar dan dihargai sehingga Zaitunnah memaparkan makna kata empu adalah diharga atau seseorang yang memiliki nilai dan dihargai. Paham konsep dan teori feminisme selalu berubah-ubah sesuai konstruk sosial dan kultural pada zamannya. Martin dan Nakayama dalam isu-isu terkait gender diberbagai negara besar di dunia masing-masing memiliki sudut pandang yang berbeda pada paham feminisme jika dilihat secara ekspilisit maupun implisit. Meskipun dewasa ini posisi perempuan dan eksistensi perempuan di masa ini telah berevolusi menjadi sebuah keuntungan bagi mereka khususnya dalam bidang karir.

    Menurut konsep keluarga muslim, tidak terdapat perbedaan antara suami dan istri. Diantara mereka memiliki hak yang seimbang baik istri maupun yang ada pada suami. Relasi antara suami-istri bersifat equal (sejajar). Makna kesejajaran dalam berkeluarga menurut pandangan saya bukan memposisikan suami dan istri dalam satu perlakuan atau mereka diperlakukan sama. Justru saya perpandangan bahwa memperlakukan suami dan istri secara sama dalam semua keadaan khususnya dalam berkeluarga menimbulkan bias gender. Jika mensejajarkan antara suami dengan istri dalam hal rumah tangga di satu keadaan seperti suami berkewajiban mengurus anaknya, sama halnya istri berkewajiban mengurus anaknya. Artinya kewajiban mengurus anak tidak sepenuhnya menjadi kewajiban istri saja, tapi juga kewajiban bersama. Dan dengan itu akan menjalin hubungan kemitrasejajaran diantara keduanya, bukan hubungan struktural layaknya atasan dan bawahan. Hubungan yang terbangun ialah hubungan saling melengkapi sesuai peran dan fungsi atau hubungan fungsional.

    Jika mensejajarkan antara suami dengan istri dalam hal rumah tangga di satu keadaan seperti suami berkewajiban mengurus anaknya, sama halnya istri berkewajiban mengurus anaknya. Artinya kewajiban mengurus anak tidak sepenuhnya menjadi kewajiban istri saja, tapi juga kewajiban bersama. Dan dengan itu akan menjalin hubungan kemitrasejajaran diantara keduanya, bukan hubungan struktural layaknya atasan dan bawahan. Hubungan yang terbangun ialah hubungan saling melengkapi sesuai peran dan fungsi atau hubungan fungsional.

Allah ta’ala berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 21

yang artinya:

“Dan di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah Dia menciptakan untukmu pasangan dari dirimu sendiri, supaya kamu merasa tenteram (sakinah) kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu cinta kasih (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” 

    Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari ayat tersebut, yang sekaligus menggambarkan relasi suami-istri dalam Islam, yaitu: 

    Penyebutan ajwazan yang artinya (berpasang-pasangan) dalam ayat tersebut mempunyai arti di antara keduanya harus terjalin hubungan kemitrasejajaran, bukan hubungan struktural (atasan dan bawahan) dan hubungan yang semestinya terbangun adalah hubungan fungsional (saling melengkapi). Dalam ayat tersebut juga menyatakan bahwa hubungan antara suami-istri adalah untuk mewujudkan “sakinah” yaitu ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan.

    Ayat tersebut juga disebutkan mawaddah (cinta kasih) dan rahmah (kasih sayang). Kedua kata ini merupakan gambara ikatan yang sangat erat antara kedua bagian dari pasangan dan bahkan sulit dibedakan maknanya. Namun tetap dapat dipisahkan, yaitu mawaddah lebih berkonotasi kepada biologis, sedangkan rahmah lebih berkonotasi kepada psikologis. Dalam agama Islam tidak memandang secara skematis faktor-faktor perbedaan laki-laki (suami) dengan perempuan (istri), tetapi lebih memandang keduanya secara utuh. 

    Boleh jadi dalam satu peran dapat dilakukan oleh keduanya, seperti perkerjaan kantoran, tetapi dalam beberapa peran tertentu hanya dapat dijalankan oleh satu jenis, seperti; hamil, melahirkan, menyusui anak, yang peran ini hanya dapat diperankan oleh wanita. Di sisi lain ada yang lebih tepat diperankan oleh kaum pria seperti pekerjaan yang memerlukan tenaga dan otot lebih besar.

    Selanjutnya diakhir saya berpendapat bahwa sifat yang dimiliki oleh manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain sifat layan, melayani. Anak melayani kedua orangtuanya adalah berbakti bukan perbudakan, Polisi melayani masyarakat adalah pengabdian bukan perbudakan, Para alim ulama melayani umat adalah responsibility bukan perbudakan. Seorang suami melayani istrinya dengan mendidik, menafkahi dan memberikan kasih sayang bukan perbudakan, begitu juga peran istri di rumah melayani suaminya, ini bukan perbudakan ini responsibility peran masing-masing. 

    Bentuk melayani ini jangan dimaknai secara spesifik yang digunakan dalam dunia relasi pekerjaan, antara majikan dengan asistennya. Bahkan kata melayani bisa bermakna pertarungan. Makna melayani jika dipahami secara sempit akan menjadi bentuk perbudakan, pemaknaan ini karena kurangnya ilmu dan terjadi gagal paham. Hal melayani di dapur tidak wajib dalam agama Islam, hanya saja tanggungjawab sebagai orang yg diamanahkan di rumah, dia menyiapkan makanan untuk anak dan suaminya. Kalau suaminya penghasilannya tinggi dia bisa sediakan ART atau masakan bisa beli. 

    Pelayanan di sumur juga tidak wajib harus istrinya yang melakukan, tapi kalau suaminya punya tugas bekerja masa istrinya gak mau berbagi tugas di rumah. Kalau suaminya penghasilannya tinggi tidak dosa menggunakan ART atau menggunakan jasa laundry. Dalam Islam pelayanan yang wajib dilakukan oleh istri adalah melayani dalam urusan ranjang, ini tidak bisa digantikan oleh siapapun, nggak tahu ya kalau kalangan feminis mau suaminya dilayani para pelakor, Sekian dan terimakasih.