Jumat, 29 Mei 2020

Ya, Perempuan Namanya


Seringkali
Dianggap lemah,
Dipandang sebelah mata,
Disebut tak bisa apa-apa

Lantas, siapa yang telah berhasil?
Melahirkan semua generasi penerus peradaban
Dengan segala perjuangan,
Menjadikan nyawa sebagai taruhan

Ya, perempuan namanya
Meruang seorang diri
Bermunajat pada sang Ilahi
Agar selalu diberi kekuatan, untuk tetap kokoh berdiri lagi

Kesetaraan?
Sudah jelas seperti yang dikatakan,
Oleh sang suri tauladan
Bahwa perempuan, sebaik-baik perhiasan

Menjaganya adalah kewajiban
Menghormatinya merupakan sebuah keharusan
Bukan dengan rendahnya, ia diremehkan
Karena tanpanya, pupus sudah sebuah peradaban

Banyumas, 19 April 2020


Karya Alvanindya N. Ardani
(Kader IMM Al Ghozali 2019)

Sabtu, 23 Mei 2020

Apakah Esok Akan ada I’dul Fitri?


Pemaknaan I’dul fitri
Pemaknaan I’dul fitri secara etimologis berasal dari dua kata bahasa arab, I’d mengambil dari akar kata alif-a-da yang memiliki banyak arti meliputi suatu yag terjadi berulang ulang, kebiasaan dan juga kata I’d berarti kembali dari asal kata audah kemudain kata fitri dari kata fitroh yang berarti suci, dan jika digabungkan secara sederhana maka pengertian dari I’dul fitri adalah kembali suci, 30 hari sudah ummat muslim menjalankan ibadah puasa romadhon beserta rangkaian ibadah yang lain kemudian ditutup dengan zakat fitrah yang biasa dilakukan di akhir ramadhan. Mengambil istilah dari sastrawan terkenal Dante, puasa dikatakan sebagai purgatorio atau penyucian jiwa jadi orang yang melaksanakan ibadah puasa sesuai dengan tuntunan, maka jiwanya akan sendirinya kembali kedalam kesucian atau paradiso yakni kebahagian dikarenakan tanpa dosa, namun suci seperti apa yang diharapkan dari pemaknaan I’dul fitri?

Pemahaman masyarakat luas khusunya di Indonesia I’dul fitri masih dianggap sebagaian banyak orang sebagai suatu agenda budaya yang disimbolkan dengan makan makanan, baju baru, dan juga bertemu sanak saudara dikampung halaman untuk ajang silaturrahim setahun sekali, hal tersebut memang tidak ada permasalahan yang berarti, namun dengan beberapa keadaan berikut masihkah esok ada I’dul fitri?

Kerumitan perpolitikan Indonesia
Ditengah pademi yang melanda Indonesia rupaya masih ada permasalahan politik Indonesia yang rumit, pemerintah sedang diuji seberapa becus mereka menghadapi permasalahan ini tapi diluar ekspektasi yang diharapkan rakyat, banyak keganjalan kebijakan yang dibuat serta informasi yang dirasa plin-plan hingga menjadikan masyaraakat bingung bahkan membuat kebanyakan acuh terhadap pemerintah. Mulai dari urusan mudik dan pulang kampung, keluar masuknya pekerja asing, on off-nya lajur tranportasi umum, PSBB dengan persiapan yang premature, dan yang paling miris adalah disaat masyarakat digencarkan untuk menjaga jarak dan pemasifan hastag #dirumahaja dari pihak DPR RI malah dengan bangganya mengadakan rapat dan dengan waktu yang sangat cepat mereka mengesahkan RUU Omnibus Law cipta kerja dan UU minerba yang dengan embel embel untuk kepentingan rakyat padahal dalam pasal pasalnya justru kebanyakan berkebalikan dengan apa yang dituju, serasa sedang memanfaatkan momen dimana masyarakat terfokus kepada penademi sedang mereka diam diam dengan sangat cepat beraksi.

Krisis empati dan egoisme yang melangit 
    Mall-mall besar dibiarkan tetap terbuka sedang toko-toko kecil disuruh untuk tutup, masjid-masjid dikosongkan sedangkan pasar masih ramai berkerumun ratusan bahkan sampai ribuan orang. Bantuan yang tak kunjung datang dengan mengambil triliunan uang negara yang katanya untuk penanganan wabah ini, ditambah minim edukasi terhadap virus ini menjadikan krisis empati yang terjadi. Masyarakat sudah terbiasa dengan kata covid-19 acuh terhadap anjuran pemerintah. Ketakutan baru setelah covid-19 adalah mati karena kelaparan, dan malu tidak memakai baju baru disaat I’dul fitri, bahkan tak sedikit yang mengatakan bahwa “tenaga medis alay, dan mengeluh terus menerus, itu sudah tanggung jawab mereka kalau sudah takdirnya terkena ya sudah tidak bisa terhindar” kalimat ini menggambarkan minim empati serta egoisme belaka untuk terlihat anggun dihari raya nanti. Menilik tulisan irwandi pada tanggal 14 mei 2020 yang dimuat di theconversation.com disitu tertulis bahwa secara global per 7 mei diseluruh dunia tercatat 989 tenaga kesehatan meninggal akibat covid-19 atau setara dengan 0,37% (case fatality rate) di Indonesia sendiri pada periode yang sama ada 12.400 kasus positif dengan 895 kematian (CFR 7,2%) termasuk 55 orang tenaga kesehatan, hal ini berarti dalam 100 kematian terdapat 6-7 petugas kesehatan yang meninggal.

Humas Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr.Halik Malik menyebutkan bahwa pertanggal 5 mei 2020 tercatat 18 orang dokter di Indonesia yang meninggal akibat positif terjangkit cofid-19 dan berstatus pasien dalam pengawasan (PDP), dari DPP PPNI juga menyebutkan bahwa ada 20 perawat yang sudah meninggal dengan status yang beragam dari positif covid-19, negative, hingga PDP. Dari data ini sekali lagi apakah benar benar esok akan ada I’dul fitri?

Nalar perfikir yang sakit 
Kemudian yang telah terjadi lagi adalah saling tuduh menuduh, berlomba lomba untuk jadi yang paling benar, dan paling keren dipandang sedang agama dikesampingkan, bukan malah ikut membantu memperingan keadaan justru sebaliknya, bukankah saling berbuat baik kepada sesama juga merupakan ibadah yang diperintahkan oleh agama? apa yang sudah diperbuat untuk memperbaiki keadaan ini? Ini sebenarnya pertanyaan yang perlu dijadikan pertanyaan besar ditiap personal  seluruh rakyat Indonesia. Sehingga nantinya tidak ada lagi saling sikut, merasa paling benar, pasar yang ramai untuk membeli baju lebaran, pemerintah yang gembrungsung dalam memutuskan kebijakan.
Maka masihkah kurang agama sebagai solusi dalam keadaan ini? Diawal tadi disebutkan bahwa dalam 30 hari kita berpuasa dan berbuat kebaikan kebaikan, namun konteks kenyataan masih jauh dari itu, lalu apakah besok masih ada I’dul fitri? Saya rasa masih belum bisa dkatakan I’dul fitri secara makna jika masih terjadi persoalan persoalan indivual disini. 


Ditulis oleh :
Muhamad Heru Setiawan
Ketua Umum PK IMM FIK UMS
2019/2020

Kamis, 14 Mei 2020

Wanita

Mereka bilang, jadi wanita itu susah. Banyak aturan yang harus ditaati. Mereka bilang jadi wanita itu ribet, banyak standaritasasi yang harus terpenuhi. Mereka bilang jadi wanita itu melelahkan, harus multitalent. Nyatanya, yang berat bukanlah perkara ‘menjadi seorang wanita’ tapi ‘bagaimana seharusnya wanita’ lah yang membuat wanita menyandang predikat makhluk teribet. Pada akhirnya, semua standarisasi itu yang membuat wanita menjadi manusia yang tak pernah bersyukur. 

Standar kecantikan yang kian membumi memaksa wanita untuk memenuhinya. Mau tak mau, mereka melakukan segala cara untuk sekadar bisa dipanggil “cantik”. Wanita Indonesia—khususnya— telah lama terpaku dalam stereotip, di mana cantik adalah kamu yang berkulit putih, bertubuh langsing dan tinggi, berhidung mancung, bermata besar, dan memiliki bulu mata yang lentik. Seolah, kecantikan hanya terpaku pada penampilan fisik saja. Padahal Tuhan tidak pernah meminta wanita untuk terus menerus merombak fisiknya agar dapat dikatakan cantik. Tuhan meminta wanita untuk memeperbaiki attitude nya, memperkaya ilmunya, membuka pemikirannya, agar kelak generasi yang lahir adalah mereka yang dapat bermanfaat bukan mereka manusia toxic yang melihat segalanya dari fisik. 

Tanpa disadari, standar kecantikan menjadi momok menakutkan yang menggerus rasa percaya diri seorang wanita. Banyak dari mereka yang menganggap bahwa dirinya tidak cantik hanya karena berat badannya yang tidak ideal. Banyak dari mereka yang mengaggap dirinya kurang menarik hanya karena kulit nya berwarna sawo matang. Dan tidak jarang mereka merendahkan dirinya hanya karena tidak seperti idol korea yang selalu dilihatnya. 

Insecurities yang disebabkan oleh standar kecantikan ini ada karena kita nggak pernah menerima diri kita apa adanya. Kita nggak pernah mencoba untuk mencintai diri kita sendiri. Kita nggak pernah berdamai dengan apa yang udah Tuhan anugerahkan. Kita nggak sadar kalau kita lebih dari sekadar penampilan fisik. Dengan kata lain kita nggak  punya positive body image. Sebaliknya, kita lebih sering melakukan negative body image. Negative body image yang kita punya akhirnya membuat kita memiliki negative vibes. Hal inilah yang membuat kita dengan mudahnya melakukan body shaming terhadap wanita lainnya. 

Maka dari itu, kita perlu mempertegas bahwa cantik nggak hanya untuk mereka yang berkulit putih, tapi juga untuk mereka yang berkulit kuning langsat atau sawo matang. Cantik nggak  hanya untuk mereka yang berbadan langsing dan tinggi, tapi juga untuk mereka yang berbadan gemuk dan pendek. Cantik nggak hanya untuk mereka yang berambut lurus, tapi juga untuk mereka yang berambut ikal dan keriting. Semua wanita cantik dengan caranya sendiri, selama mereka nyaman dengan dirinya sendiri. 

Untuk kamu yang membaca tulisan ini, tolong ingat, bahwa semua bunga itu cantik, mereka unik satu dengan yang lainnya. Kamu tidak akan pernah bisa membandingkan kecantikan bunga mawar dan bunga melati. Begitu pula dengan bunga matahari dan bunga sakura. Sama seperti kamu. Kamu cantik dengan kulit mu yang sawo matang, kamu cantik dengan tubuh yang kamu bilang gendut itu, kamu cantik dengan hidung mungil mu, kamu cantik dengan segala kekurangan pada tubuhmu. Jangan merendahkan dirimu, sebab kamu jauh lebih berharga dari sekadar penampilan fisikmu.


Ditulis oleh :
Zahra Almadani
Mahasiswa Fisioterapi 
Fakultas Ilmu Kesehatan 
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Minggu, 10 Mei 2020

Akankah Terus Tersakiti ?

Pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seksual yang tidak diinginkan maupun karena pemaksaan dan perilaku yang lainnya merujuk pada tindakan verbal ataupun non verbal yang merujuk pada seks. Menurut Komnas Perempuan tindakan pelecehan seksual tidak hanya merujuk langsung pada fisik, namun tindakan tersebut dapat berupa siulan, colekan atau sentuhan pada tubuh, komentar bernuansa seksual dan main mata. Dan tentu hal tersebut pernah atau bahkan sering kita jumpai, tindakan tersebut termasuk tindakan yang dalam pemikiran erotis dan dapat mengakibatkan menurunnya martabat sebagai wanita dan dapat menimbulkan ketidaknyamanan.

Budaya Patriarki masih subur di negeri ini, wanita hanya dipandang sebagai kaum yang lemah dan bahkan menjadi kaum sampingan serta kaum yang dinomor duakan. Masih terdapat anggapan yang merujuk pada perilaku, bahwa wanita adalah sosok yang harus tunduk dalam segala hal. Sehingga melekat kuat pada adat istiadat tentang wanita yang harus tunduk akan norma yang berlaku,  akibatnya terjadilah pembatasan ruang gerak pada wanita. Pola pikir tersebut sangat berpengaruh pada martabat wanita, sehingga bisa dilihat hingga kini banyak wanita yang dilecehkan hingga menjadi korban kekerasan. Menurut data Komnas HAM 2019 terdapat 406.178 kasus pelecehan dan kekerasan pada perempuan, serta data naik 14% setiap tahunnya.  Kasus yang paling tinggi adalah pelecehan  seksual, eksploitasi seksual,pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, dll. 

Undang-undang pelecehan seksual diatur dalam KUHP, yang dimana pasalnya belum terdefinisi  secara tegas. Akibatnya setiap korban yang mengadu meminta keadilan, malah tersudutkan akan kasusnya dan berakhir pada mediasi damai antar korban dan pelaku. Lucu memang, dimana hak dan martabat yang dijunjung tinggi namun ditukar dengan kata maaf serta ganti rugi berupa uang. Hal inilah, yang menjadikan masih maraknya kasus-kasus pelecehan dan  kekerasan seksual masih tumbuh subur. Wanita ingin dilindungi, mereka juga manusia yang mempunyai hak untuk bebas dan menjaga kehormatan mereka. Tindakan yang erotis, timbul dari pikiran-pikiran erotis juga. Maka dari itu seyogyanya kita saling menghargai dan menghormati sesama tanpa memandang perbedaan Gender, Ras, Agama.

Ditulis oleh :
Aiyu Ahsinawati
Sekbid SPM 2019/2020
PK IMM FIK UMS