Jumat, 04 Juli 2025

PERI: Sebuah Pintu Kesetaraan Gender melalui Perpustakaan Inklusif

 


Disusun Oleh:
Made Ambari Pramudia
Universitas Udayana

“Perempuan adalah pembawa peradaban” – R.A. Kartini. Kutipan tersebut dikutip dalam buku Celoteh R.A. Kartini: 232 Ujaran Bijak Sang Pejuang Emansipasi oleh Ahmad Nurcholis, di mana R.A. Kartini dikenal sebagai pahlawan nasional Indonesia yang menjadi pelopor gerakan emansipasi wanita. Pada kutipan tersebut, R.A. Kartini berpesan bahwasanya perempuan merupakan tonggak awal dalam melahirkan sebuah kehidupan di dalam dunia, maka dari itu perempuan tidak hanya berperan sebagai inisiator utama dalam membawa kehidupan, melainkan juga sebagai pionir perubahan yang mampu mengarahkan dan meningkatkan kualitas kehidupan. Sebagai inisiator utama bagi generasi berikutnya, pendidikan tentu menjadi hal yang utama bagi perempuan. Pendidikan tidak hanya berupa pengetahuan akademis, tetapi juga berupa keterampilan yang mampu membentuk karakter mendasar bagi perkembangan ekonomi (Kardina & Magriasti, 2023). Pendidikan tinggi dapat menjadi fondasi bagi perempuan dalam menjalankan peran sebagai inisiator utama dalam melahirkan generasi yang esensial bagi pertumbuhan ekonomi.

Namun, kenyataannya perempuan dihadapkan pada sebuah realitas pahit antara peran perempuan sebagai tonggak awal peradaban dengan kenyataan yang berbanding terbalik. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada Maret 2023 menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah bagi penduduk laki-laki adalah 9,33 tahun atau setara dengan jenjang pendidikan kelas 1 SMA (Sekolah Menengah Atas). Sedangkan perempuan hanya mencapai 8,92 tahun atau setara dengan jenjang pendidikan kelas 3 SMP (Sekolah Menengah Pertama).

Kesenjangan yang terjadi dalam dunia pendidikan erat kaitannya dengan faktor budaya pada masyarakat Indonesia. Budiman menjelaskan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat dijelaskan melalui dua teori besar; teori nature dan teori nurture. Berdasarkan teori nature (alamiah), perempuan dianggap memiliki sifat yang lemah lembut sehingga perempuan memiliki peran dalam sektor domestik. Sedangkan laki-laki memiliki sifat yang kuat karena memiliki kewajiban dalam menjaga dan melindungi keluarga sehingga memiliki peran dalam sektor publik. Teori nurture (budaya) merupakan pandangan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan merupakan hasil dari konstruksi masyarakat (Fitriani & Neviyarni, 2022). Melalui pandangan tersebut menyebabkan masyarakat lebih mengutamakan laki-laki dalam memperoleh pendidikan tinggi dibandingkan perempuan, dengan dalih bahwa kelak laki-laki akan menjadi kepala keluarga yang memikul tanggung jawab dalam menafkahi keluarganya, sedangkan perempuan hanya melakukan kegiatan domestik saja.

Lalu, apa yang terjadi dengan kesenjangan gender dalam pendidikan tersebut? Kesenjangan dalam dunia pendidikan memberikan dampak yang negatif bagi perempuan, salah satunya kemampuan dalam membaca dan menulis yang rendah dibandingkan laki-laki. Kemampuan penduduk dalam membaca dan menulis dapat dilihat melalui indikator Angka Melek Huruf (AMH). Indikator AMH bertujuan untuk mengetahui berapa banyak penduduk di suatu wilayah memiliki kemampuan dasar dalam memperoleh akses informasi untuk menambah pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup, baik bagi diri sendiri, keluarga, maupun negara di berbagai bidang kehidupan (Statistik, 2023). Apabila data tersebut ditinjau dari segi jenis kelamin, capaian AMH usia 15
tahun ke atas bagi penduduk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu 95,29 persen dibanding 97,7 persen. Kesenjangan gender dalam literasi menjadi masalah serius bagi Indonesia, sebab tanpa adanya kemampuan baca tulis akan memperburuk kesenjangan gender yang ada dan menghambat perempuan dalam meningkatkan pengetahuan. Maka dari itu, ungkapan yang diucapkan oleh R.A. Kartini tidak akan ada maknanya apabila kesenjangan masih terus terjadi di masyarakat, perempuan tidak akan mampu menjadi inisiator utama dalam pembawa peradaban dalam masyarakat apabila perempuan mengalami ketimpangan dalam literasi.

Sebagai generasi muda, penting untuk memiliki kepribadian kritis dan juga peduli akan isu-isu yang terjadi di masyarakat. Generasi muda, khususnya generasi Z memegang peranan penting dalam memberikan pengaruh pada perkembangan Indonesia. Generasi Z dilabeli sebagai generasi yang tak kenal akan batasan atau boundary-less generation, hal ini dikarenakan Generasi Z memiliki karakteristik
yang beragam, bersifat global, dan mampu memberikan pengaruh pada budaya dan sikap masyarakat kebanyakan (Rakhmah, 2021). Tak hanya itu, Generasi Z hidup pada masa di mana teknologi memiliki kemiripan dengan oksigen, yaitu mereka dapat menggunakan teknologi sesederhana mereka bernapas. Melalui perkembangan zaman dan teknologi, Generasi Z memiliki peran penting dalam mengatasi terjadinya ketimpangan dan kesenjangan gender dengan memanfaatkan sosial media sebagai sarana campaign dan advokasi terkait kesetaraan gender. Sosial media mampu menjaring dan menyebarkan informasi dengan lebih cepat, sehingga akan mempermudah dalam menyampaikan isu-isu gender yang terjadi pada masyarakat, salah satunya adalah dengan pembentukan Program PERI atau Perpustakaan Inklusif berbasis hybrid.

Perpustakaan pada dasarnya merupakan sebuah tempat yang memuat berbagai literatur, sedangkan inklusif berarti sebuah tindakan persuasif atau mengikutsertakan. Perpustakaan Inklusif merujuk pada perpustakaan yang dirancang untuk mendukung kesetaraan gender dengan menyediakan aksesibilitas terhadap pengetahuan bagi seluruh masyarakat Indonesia, tanpa memandang jenis kelamin atau identitas gender. Program PERI atau Perpustakaan Inklusif yang dirancang secara hybrid dapat membantu masyarakat dalam mengakses informasi melalui literatur, baik secara online melalui sosial media maupun secara offline yang berkolaborasi dengan perpustakaan daerah di masing-masing wilayah. Melalui Perpustakaan Inklusif, masyarakat Indonesia, khususnya perempuan dapat mencari sumber informasi dan pengetahuan guna menunjang kemampuan dan keterampilan yang dimiliki dan dapat berguna sebagai pusat pendidikan. Perpustakaan Inklusif akan menyediakan berbagai koleksi literatur yang membahas terkait isu-isu gender, perspektif gender, maupun literatur yang mampu berfungsi sebagai navigasi bagi perempuan dalam menjalani kehidupan. Tak hanya sebagai tempat penyimpanan koleksi literatur, Perpustakaan Inklusif mewadahi masyarakat dalam pemberdayaan dengan memfasilitasi pelatihan keterampilan maupun pengetahuan dasar guna menunjang kehidupan masyarakat agar mampu berdiri di kaki sendiri. Perpustakaan Inklusif juga mewadahi forum diskusi dengan mendatangkan penulis-penulis perempuan dan membahas terkait isu-isu gender yang relevan terjadi di lingkup masyarakat Indonesia, adanya forum diskusi akan membuka kesempatan bagi peserta yang turut serta dalam mengkritisi isu-isu gender dan membuka berbagai pandangan dan perspektif baru terkait kesetaraan gender.

Perpustakaan Inklusif dapat menjadi langkah awal yang dapat dilakukan oleh Generasi Z dengan memanfaatkan teknologi sebagai sebuah wadah untuk menyuarakan isu-isu terkait ketimpangan gender yang dialami oleh perempuan di Indonesia. Melalui adanya program PERI, besar harapan penulis untuk dapat meningkatkan sumber daya manusia di Indonesia melalui literasi dan meningkatkan kepedulian generasi muda akan isu-isu yang terjadi dalam masyarakat, khususnya isu gender yang setiap tahunnya selalu terjadi permasalahan dan merugikan pihak perempuan. Mari wujudkan kutipan R.A. Kartini menjadi kenyataan dengan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk mengenyam dan memperoleh pendidikan setinggi-tingginya, karena melalui pendidikan, perempuan dapat mewarisi pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki kepada generasi selanjutnya sebagai fondasi awal dalam membentuk sebuah peradaban yang mampu membantu Indonesia dalam melanjutkan pembangunan ekonomi.

“Untuk sementara didiklah, berilah pelajaran kepada anak-anak perempuan kaum bangsawan: dari sinilah peradaban bangsa harus dimulai. Jadikanlah mereka ibu-ibu yang cakap, cerdas, dan baik. Maka mereka akan menyebarluaskan peradaban di antaranya bangsanya.” – R.A. Kartini.

Editor: Tessa Amelia F.W.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar