Senin, 28 Desember 2020

INTERPRETASI KULTURAL YOGYAKARTA- SURAKARTA SEBAGAI MANIFESTASI KEBUDAYAAN DI TENGAH ARUS GLOBALISASI

A. PENDAHULUAN

     Jawa terkenal dengan budayanya yang adiluhung dan menyimpan nilai-nilai luhur baik etika ataupun sopan santun di dalam rumah sampai pada ranah publik. Setiap masyarakat di Jawa menjunjung tinggi  konsep hidupnya melalui nilai budaya dan sistem budaya (Sartini, 2009). Menurut Shiraev dan Levy (2012), budaya adalah kesatuan dari sikap, perilaku, dan simbol yang dianut oleh sekelompok orang. Budaya merupakan aktualisasi dari adanya kebutuhan psikologis manusia. Faktor yang menyebabkan keragaman budaya adalah  agama, adat istiadat yang unik, dan kesenian yang dimiliki oleh setiap suku yang ada di Indonesia (Isdarmanto, 2015). Dalam kebudayaan Jawa terdapat kepercayaan yang menganggap bahwa seorang raja adalah subjek yang mendapat anugrah (cahaya), yang memiliki kekuatan Ilahi dan diibaratkan sebagai raja-dewa yang bertahta atas alam semesta.

     Kebudayaan yang terkenal di Jawa Tengah adalah babat sejarah kekeratonan Jogjakarta- Surakarta. yang eksistensinya masih mengalir sampai saat ini. Sejarah keraton tersebut membawa dua aspek penting yaitu adanya akulturasi antara kebudayaan Jawa dan Islam yang berdasar atas kebudayaan humanisme teosentris. Kebudayaan ini  bermuara pada konsep pembebasan (liberasi) dan emansipasi dalam konteks pergumulan dengan budaya Jawa yang melahirkan format kebudayaan baru yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi keabadian (transendental), dan dimensi temporal. Format kebudayaan Jawa baru tersebut pada akhirnya akan sejalan dengan muatan-muatan yang bernapaskan Islam walaupun bentuk fisiknya masih mempertahankan budaya Jawa asli.

     Dalam bentuk akulturasi, Islam dan budaya masyarakat Jawa merupakan warisan leluhur yang secara turun-temurun  perlu dijaga dari generasi satu ke generasis selanjutnya. Budaya yang dijaga tersebut akan membentuk sebuah tradisi yang menjadi ciri khas mereka untuk jaga eksistensinya. Namun, dengan munculnya masa modernisasi  serta arus globalisasi yang ditandai dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang kian tak terbatas telah membawa dampak yang besar bagi masyarakat. Terdapat pola perubahan perilaku dan salah satunya pada aspek kebudayaan masayarakat Jawa. Oleh karena itu, dibutuhkan kajian lebih lanjut mengenai kebudayaan Kekeratonan Yogyakarta-Surakarta sebagai manifestasi kebudayaan di tengah arus globalisasi.

B. ISI

     Sejarah  telah menunjukkan bahwa berdirinya daerah Yogjakarta dan Surakarta tidak lain adalah hasil perpecahan Kerajaan Mataram pada tahun 1816 menjadi empat bagian yaitu Surakarta, Mangkunegaran, Yogyakarta dan Pakualaman. Hasil kebudayaan Mataram menunjukkan adanya akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan Hindu dan Budha pada saat itu mempunyai pengaruh yang sangat besar dan kuat terhadap kebudayaan asli Jawa. Sultan sebagai raja, tetap melestarikan tradisi sekaten sebagai media dakwah Islam. Selain itu, sultan juga mendirikan Masjid Sulthani di empat penjuru wilayah Yogyakarta, dan menempatkan takmir masjid yang masih termasuk kerabat keraton di masing-masing masjid tersebut.  Menurut (Putro, 2010), toleransi  dari adanya identional culture yang muncul sebagai pengetahuan sehari-hari masyarakat sangat dipertahankan di Yogyakarta. Istilah ini tidak lain  berakar pada gagasan yang njawani, yang berasal dari jagad pemikiran orang Jawa, yang boleh dikatakan unsur inti dalam budaya Jawa.

     Peranan Sultan Hamengku Buwana IX dalam pengembangan budaya Jawa meliputi berbagai fungsi baik dalam seni khususnya pada tari tradisional Jawa. Melestarikan dan membakukan tari adalah sebagian cita-cita Sultan dalam memberi warna baru bagi Keraton Yogyakarta. Ini menunjukkan bahwa keraton menjadi satu pusat kebudayaan yang hidup dan menjadi acuan dinamis untuk kebudayaan dan kesenian. Menurut (Wardani, 2012), museum pribadi Sultan Hamengku Buwana IX, Museum Keraton merupakan  aktualisasi dari pusat kebudayaan Jawa yang benar-benar hidup

     Menurut masyarakat Jawa, Keraton merupakan tempat bersemayamnya raja, dan raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan membawa ketentraman, keadilan, dan kesuburan bagi masyarakat sekitar. Keraton mempunyai kemampuan mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat dan dengan kekuasaan yang besar itu maka Keraton dapat berfungsi sebagai tempat berlindung secara spiritual bagi seluruh  masyarakat (Susila & Abidin , 2016). Hal ini sejalan dengan adanya kepercayaan masyarakat yang berbau mistis yang tetap dipertahankan pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana IX sebagai aktualisasi kebudayaan yang adiluhung.  Tradisi labuhan pada tanggal 25 Bakda Maulud dalam kalender Jawa merupakan sebuah upacara yang digunakan untuk memperingati hari penobatan Sultan dengan serangkaian acara membuang sesaji untuk Nyi Roro Kidul, yang dipercaya masyarakat sebagai istri para raja Jawa. Sesaji yang digunakan memiliki arti sarana pernyataan syukur. 

     Selain keraton Yogyakarta Keraton Surakarta juga merupakan kelanjutan salah satu kelanjutan dari Keraton Mataram yang pada tahun 1677 yang telah runtuh akibat pemberontakan Trunojoyo. Keraton berfungsi sebagai pusat kebudayaan dengan salah satu aktualisasinya berupa penggunaan sesaji (gunawan, 2018). Pada masa silam raja menjadi pelindung dari para hali-ahli kebudayaan yang hidup pada zamannya. Saat ini fungsi keraton tidak lagi sama dengan zaman dahulu dimana fungsinya adalah sebagai tempat penyimpanan benda-benda kebudayaan, yang dapat mendatangkan para wisatawan melihat secara langsung tentang peninggalan benda-benda kebudayaan pada waktu itu. Pada masa sekarang ini raja yang berkuasa di Keraton Kasunanan Surakarta mempunyai peranan dan kedudukan dalam lingkup keraton sebagai pengageng Keraton artinya tidak memiliki kekuasaan yang sama dengan dahuku. Pusat kegiatan-kegiatan pada masa sekarang berada di bawah naungan Departeman Agama, yang dikepalai oleh Menteri Agama. 

     Pada hakekatnya masyarakat di Surakarta dan Yogyakarta adalah masyarakat yang tidak mempunyai korpus, namun mempunyai kultur. Meskipun menganut agama Islam namun masih memperhitungkan hubungan dengan kultur Jawa. Hal ini sejalan pula dengan pemikiran toleran di awal abad ke-20 dengan berdirinya Muhammadiyah di kota itu. Pendirian ormas Islam ini bertujuan untuk menundukkan praktik-praktik Islam Jawa yang wajar kala itu, sekalipun pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan cukup lunak terhadap tasawuf. Namun, masih terdapat kesamaan unsur antara Muhammadiyah dan pemikiran Muhammad Abdul Wahab, terutama pada aspek tujuan dan strategi (Shihab 1997). Secara spesifik fungsi keraton bukan sebatas dibaca simbol fisik, tetapi merupakan symbol kejawaan yang berdialog dengan agama (Islam). Hubungan inilah yang kemudian melahirkan berbagai adagium toleransi masyarakat Jawa. Bentuk Kebudayaan Keraton Yogyakarta-Surakarta yang membangun toleransi ini perlu dipertahankan dan dijaga agar tidak tergerus oleh zaman serta arus globalisasi.

C. KESIMPULAN

     Kebudayaan Jawa khususnya pada daerah Jawa Tengah mencerminkan budaya yang adiluhung dan menyimpan nilai-nilai luhur baik dalam etika dan sopan santun. Keraton Yogyakarta-Surakarta adalah kebudayaan yang memiliki sejarah panjang yang menyimpan tradisi yang menjadi jati diri sebuah masyarakat dalam menyimpan nilai-nilai kehidupan yang tinggi. Adanya toleransi dalam aktualisasi kebudayaan Mataram menunjukkan adanya akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan Jawa sehingga fungsi keraton bukan sebatas dibaca simbol fisik, tetapi merupakan symbol kejawaan yang berdialog dengan agama (Islam). Di era globalisasi ini semoga kita sebagai generasi penerus bangsa tetap dapat berperan dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan sebagai jati diri sebuah bangsa yang luhur.


DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, A. (2018). Keraton Surakarta      Hadiningrat Sebagai Destinasi Wisata Utama Di Kota Solo. Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta.


Isdarmanto, I. (2015). Structuring Malioboro Yogyakarta Environmentally Friendly Refers To The Tourism Behavior. Jurnal Kepariwisataan, 9(2), 89-97


Putro, Z. A. (2010). Ketahanan Toleransi Orang Jawa: Studi tentang Yogyakarta Kontemporer. Jurnal Sosiologi, 15(2), 15-36.


Shiraev, E. B., & Levy, D. A. (2012). Psikologi lintas kultural: pemikiran kritis dan terapan modern (edisi keempat). Jakarta: Kencana Predana Media Group. 


Susila, P. G., & Abidin , Z. (2016). Pengalaman Menjadi Abdidalem Punokawan Keraton Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jurnal Empati, 5(1), 106-112.


Wardani, L. K. (2012). Pengaruh Pandangan Sosio-Kultural Sultan Hamengkubuwana IX terhadap Eksistensi Keraton Yogyakarta. Jurnal Masyarakat dan Kebudayaan Politik, 25(1), 56-63. 



Oleh IMMawati Niken Damayanti

PK IMM FIK UMS

WAYANG KULIT SEBAGAI ASET BERHARGA INDONESIA

    Kebudayaan yang dimiliki oleh negeri ini sangatlah banyak. Tidak heran jika masing-masing daerah yang ada di Indonesia memiliki beraneka ragam budaya yang ada. Salah satu daerah yang cukup populer bagi masyarakat Indonesia mengenai kebudayannya yakni Jawa Tengah. Begitu banyak budaya yang melekat di daerah Jawa Tengah dan perlu untuk dilestarikan oleh kalangan muda salah satunya adalah wayang kulit. Hal ini dikarenakan seiring berkembangnya zaman dan majunya teknologi tentunya memberikan tugas baru bagi kalangan muda untuk tetap melestarikan dan mencintai budaya wayang kulit ini. 

        Pada umumnya wayang kulit bukan hanya berada di Jawa Tengah, namun wayang kulit juga tersebar di seluruh pulau Jawa. Wayang adalah salah satu jenis kebudayaan Jawa yang telah ada dan dikenal oleh masyarakat Jawa sejak ±1500 tahun yang lalu. Bahkan bukan hanya di Jawa saja, pertunjukan wayang kulit juga telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Hal ini menjadi sebuah kebanggan bahwa kebudayaan wayang kulit sudah mendunia.

   Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang, namun tidak sembarang orang dapat menjadi dalang karena keahlian dan wawasan mengenai wayang ataupun kisah yang akan diangkat juga harus di perhatikan. Ki Nartosabdo, Ki Anom Suroto, Ki Manteb Soedharsono, serta Ki Slamet Gundono merupakan para dalang wayang kulit terkenal yang berasal dari Jawa Tengah. Selain itu, pertunjukkan wayang kulit juga diiringi oleh lantunan gamelan jawa yang menabuh disebut dengan niyaga serta lantunan syair-syair indah oleh sinden. Pada prinsipnya niyaga dan pesinden membantu dalang sebagai pengiring berjalannya cerita wayang yang diangkat.       Pertunjukkan wayang kulit biasa dilaksanakan ketika malam hari. Tak heran jika penikmat wayang kulit ini kebanyakan kalangan pria. Namun, memungkinkan juga para wanita juga menyukai wayang kulit karena kisah indah yang diangkat oleh pertunjukkan wayang kulit tersebut. 

 Pertunjukan wayang kulit dalam pergelarannya ternyata memiliki tahapan-tahapan yang berurutan. Pergelaran Wayang kulit senantiasa terdiri dari beberapa bagian atau adegan yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Tiap-tiap bagian melambangkan fase atau tingkat tertentu dari kehidupan manusia. Bagian-bagian tersebut antara lain:

  1. Jejer (adegan pertama), melambangkan kelahiran bayi dari kandungan ibu diatas dunia serta perkembangan masa kanak-kanak sampai meningkat hingga dewasa
  2. Perang gagal, melambangkan perjuangan manusia muda untuk melepaskan diri dari kesulitan serta penghalang dalam perkembangan hidupnyaP
  3. erang kembang, melambangkan peperangan antara baik dengan buruk yang akhirnya dimenangkan oleh pihak yang baik. Perang kembang berlangsung setelah lepas tengah malam. Artinya filosofisnya yaitu setelah orang mengakhiri masa muda sampailah masa dewasa.
  4. Perang brubuh, melambangkan kehidupan manusia yang akhirnya mencapai kebahagiaan hidup hingga penemuan jati diri.
  5. Tancep kayon, melambangkan berakhirnya kehidupan artinya pada akhirnya manusia mati, kembali kealam baka menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa

   Pertunjukan wayang pada hakikatnya merupakan suatu lambang yang bersifat religius-mistis, yaitu lambang kehidupan manusia dari lahir sampai mati sebagaimana tercermin dalam struktur wayang. Bahkan, hampir semua aspek pewayangan, seperti bentuk-bentuk fisik wayang dan berbagai peralatan yang dipergunakan adalah berfungsi pelambangan

      Beberapa filosofi tentang kata wayang dapat diartikan sebagai gambar atau tiruan manusia yang terbuat dari kulit, kayu, dan sebagainya untuk mempertunjukan sesuatu lakon atau cerita. Arti lain dari kata wayang ialah ayang-ayang atau dalam Bahasa Indonesia dapat ditafsirkan dengan arti bayangan, karena dalam pertunjukkan wayang kulit bahwa yang dilihat adalah bayangan dalam kelir. Sejarah wayang yang semula bayang-bayang (wujud roh) kini menjadi wayang kulit purwa, layar menjadi kelir, syaman (medium) menjadi dalang, saji-sajian menjadi sajen, lagu pujian menjadi suluk, gerong, dan sindhenan, bunyi-bunyian menjadi gamelan, tempat pertunjukan (tahta batu) menjadi batang pisang, blencong menjadi lampu penerangan, dan sebagainya. 

   Wayang berfungsi sebagai pelestarian budaya lokal khususnya Jawa untuk dijadikan sebagai budaya Nasional karena memiliki nilai-nilai yang sangat komplek seperti agama, akhlaq, pendidikan, seni dan sebagainya. Filosofi wayang sangatlah tinggi karena kita menceritakan tentang berbagai lakon carangan dan cerita aslinya. Namun, seiring perkembangan dari zaman ke zaman, wayang telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat pendukungnya, baik dalam bentuk atribut, fungsi maupun peranannya. Wayang telah melewati berbagai peristiwa sejarah dari generasi ke generasi. Budaya pewayangan telah melekat dan menjadi bagian hidup dari bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. 

       Wayang kulit memiliki aspek berharga bagi negeri ini. sudah dibuktikan bukan hanya di dalam negeri wayang menggoreskan sejarah namun wayan telah tiba di kancah  internasional. Sebagai kalangan muda tentunya mempunyai peran yang sangat penting untuk tetap menjaga eksistensi wayang kulit diberbagai kalangan. Sebagai penerus bangsa dan pemegang kehidupan selanjutnya, wajib tahu akan pentingnya peranan ini. 


Oleh IMMawati Salma Widya A.

PK IMM FIK UMS

Jumat, 29 Mei 2020

Ya, Perempuan Namanya


Seringkali
Dianggap lemah,
Dipandang sebelah mata,
Disebut tak bisa apa-apa

Lantas, siapa yang telah berhasil?
Melahirkan semua generasi penerus peradaban
Dengan segala perjuangan,
Menjadikan nyawa sebagai taruhan

Ya, perempuan namanya
Meruang seorang diri
Bermunajat pada sang Ilahi
Agar selalu diberi kekuatan, untuk tetap kokoh berdiri lagi

Kesetaraan?
Sudah jelas seperti yang dikatakan,
Oleh sang suri tauladan
Bahwa perempuan, sebaik-baik perhiasan

Menjaganya adalah kewajiban
Menghormatinya merupakan sebuah keharusan
Bukan dengan rendahnya, ia diremehkan
Karena tanpanya, pupus sudah sebuah peradaban

Banyumas, 19 April 2020


Karya Alvanindya N. Ardani
(Kader IMM Al Ghozali 2019)

Sabtu, 23 Mei 2020

Apakah Esok Akan ada I’dul Fitri?


Pemaknaan I’dul fitri
Pemaknaan I’dul fitri secara etimologis berasal dari dua kata bahasa arab, I’d mengambil dari akar kata alif-a-da yang memiliki banyak arti meliputi suatu yag terjadi berulang ulang, kebiasaan dan juga kata I’d berarti kembali dari asal kata audah kemudain kata fitri dari kata fitroh yang berarti suci, dan jika digabungkan secara sederhana maka pengertian dari I’dul fitri adalah kembali suci, 30 hari sudah ummat muslim menjalankan ibadah puasa romadhon beserta rangkaian ibadah yang lain kemudian ditutup dengan zakat fitrah yang biasa dilakukan di akhir ramadhan. Mengambil istilah dari sastrawan terkenal Dante, puasa dikatakan sebagai purgatorio atau penyucian jiwa jadi orang yang melaksanakan ibadah puasa sesuai dengan tuntunan, maka jiwanya akan sendirinya kembali kedalam kesucian atau paradiso yakni kebahagian dikarenakan tanpa dosa, namun suci seperti apa yang diharapkan dari pemaknaan I’dul fitri?

Pemahaman masyarakat luas khusunya di Indonesia I’dul fitri masih dianggap sebagaian banyak orang sebagai suatu agenda budaya yang disimbolkan dengan makan makanan, baju baru, dan juga bertemu sanak saudara dikampung halaman untuk ajang silaturrahim setahun sekali, hal tersebut memang tidak ada permasalahan yang berarti, namun dengan beberapa keadaan berikut masihkah esok ada I’dul fitri?

Kerumitan perpolitikan Indonesia
Ditengah pademi yang melanda Indonesia rupaya masih ada permasalahan politik Indonesia yang rumit, pemerintah sedang diuji seberapa becus mereka menghadapi permasalahan ini tapi diluar ekspektasi yang diharapkan rakyat, banyak keganjalan kebijakan yang dibuat serta informasi yang dirasa plin-plan hingga menjadikan masyaraakat bingung bahkan membuat kebanyakan acuh terhadap pemerintah. Mulai dari urusan mudik dan pulang kampung, keluar masuknya pekerja asing, on off-nya lajur tranportasi umum, PSBB dengan persiapan yang premature, dan yang paling miris adalah disaat masyarakat digencarkan untuk menjaga jarak dan pemasifan hastag #dirumahaja dari pihak DPR RI malah dengan bangganya mengadakan rapat dan dengan waktu yang sangat cepat mereka mengesahkan RUU Omnibus Law cipta kerja dan UU minerba yang dengan embel embel untuk kepentingan rakyat padahal dalam pasal pasalnya justru kebanyakan berkebalikan dengan apa yang dituju, serasa sedang memanfaatkan momen dimana masyarakat terfokus kepada penademi sedang mereka diam diam dengan sangat cepat beraksi.

Krisis empati dan egoisme yang melangit 
    Mall-mall besar dibiarkan tetap terbuka sedang toko-toko kecil disuruh untuk tutup, masjid-masjid dikosongkan sedangkan pasar masih ramai berkerumun ratusan bahkan sampai ribuan orang. Bantuan yang tak kunjung datang dengan mengambil triliunan uang negara yang katanya untuk penanganan wabah ini, ditambah minim edukasi terhadap virus ini menjadikan krisis empati yang terjadi. Masyarakat sudah terbiasa dengan kata covid-19 acuh terhadap anjuran pemerintah. Ketakutan baru setelah covid-19 adalah mati karena kelaparan, dan malu tidak memakai baju baru disaat I’dul fitri, bahkan tak sedikit yang mengatakan bahwa “tenaga medis alay, dan mengeluh terus menerus, itu sudah tanggung jawab mereka kalau sudah takdirnya terkena ya sudah tidak bisa terhindar” kalimat ini menggambarkan minim empati serta egoisme belaka untuk terlihat anggun dihari raya nanti. Menilik tulisan irwandi pada tanggal 14 mei 2020 yang dimuat di theconversation.com disitu tertulis bahwa secara global per 7 mei diseluruh dunia tercatat 989 tenaga kesehatan meninggal akibat covid-19 atau setara dengan 0,37% (case fatality rate) di Indonesia sendiri pada periode yang sama ada 12.400 kasus positif dengan 895 kematian (CFR 7,2%) termasuk 55 orang tenaga kesehatan, hal ini berarti dalam 100 kematian terdapat 6-7 petugas kesehatan yang meninggal.

Humas Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr.Halik Malik menyebutkan bahwa pertanggal 5 mei 2020 tercatat 18 orang dokter di Indonesia yang meninggal akibat positif terjangkit cofid-19 dan berstatus pasien dalam pengawasan (PDP), dari DPP PPNI juga menyebutkan bahwa ada 20 perawat yang sudah meninggal dengan status yang beragam dari positif covid-19, negative, hingga PDP. Dari data ini sekali lagi apakah benar benar esok akan ada I’dul fitri?

Nalar perfikir yang sakit 
Kemudian yang telah terjadi lagi adalah saling tuduh menuduh, berlomba lomba untuk jadi yang paling benar, dan paling keren dipandang sedang agama dikesampingkan, bukan malah ikut membantu memperingan keadaan justru sebaliknya, bukankah saling berbuat baik kepada sesama juga merupakan ibadah yang diperintahkan oleh agama? apa yang sudah diperbuat untuk memperbaiki keadaan ini? Ini sebenarnya pertanyaan yang perlu dijadikan pertanyaan besar ditiap personal  seluruh rakyat Indonesia. Sehingga nantinya tidak ada lagi saling sikut, merasa paling benar, pasar yang ramai untuk membeli baju lebaran, pemerintah yang gembrungsung dalam memutuskan kebijakan.
Maka masihkah kurang agama sebagai solusi dalam keadaan ini? Diawal tadi disebutkan bahwa dalam 30 hari kita berpuasa dan berbuat kebaikan kebaikan, namun konteks kenyataan masih jauh dari itu, lalu apakah besok masih ada I’dul fitri? Saya rasa masih belum bisa dkatakan I’dul fitri secara makna jika masih terjadi persoalan persoalan indivual disini. 


Ditulis oleh :
Muhamad Heru Setiawan
Ketua Umum PK IMM FIK UMS
2019/2020

Kamis, 14 Mei 2020

Wanita

Mereka bilang, jadi wanita itu susah. Banyak aturan yang harus ditaati. Mereka bilang jadi wanita itu ribet, banyak standaritasasi yang harus terpenuhi. Mereka bilang jadi wanita itu melelahkan, harus multitalent. Nyatanya, yang berat bukanlah perkara ‘menjadi seorang wanita’ tapi ‘bagaimana seharusnya wanita’ lah yang membuat wanita menyandang predikat makhluk teribet. Pada akhirnya, semua standarisasi itu yang membuat wanita menjadi manusia yang tak pernah bersyukur. 

Standar kecantikan yang kian membumi memaksa wanita untuk memenuhinya. Mau tak mau, mereka melakukan segala cara untuk sekadar bisa dipanggil “cantik”. Wanita Indonesia—khususnya— telah lama terpaku dalam stereotip, di mana cantik adalah kamu yang berkulit putih, bertubuh langsing dan tinggi, berhidung mancung, bermata besar, dan memiliki bulu mata yang lentik. Seolah, kecantikan hanya terpaku pada penampilan fisik saja. Padahal Tuhan tidak pernah meminta wanita untuk terus menerus merombak fisiknya agar dapat dikatakan cantik. Tuhan meminta wanita untuk memeperbaiki attitude nya, memperkaya ilmunya, membuka pemikirannya, agar kelak generasi yang lahir adalah mereka yang dapat bermanfaat bukan mereka manusia toxic yang melihat segalanya dari fisik. 

Tanpa disadari, standar kecantikan menjadi momok menakutkan yang menggerus rasa percaya diri seorang wanita. Banyak dari mereka yang menganggap bahwa dirinya tidak cantik hanya karena berat badannya yang tidak ideal. Banyak dari mereka yang mengaggap dirinya kurang menarik hanya karena kulit nya berwarna sawo matang. Dan tidak jarang mereka merendahkan dirinya hanya karena tidak seperti idol korea yang selalu dilihatnya. 

Insecurities yang disebabkan oleh standar kecantikan ini ada karena kita nggak pernah menerima diri kita apa adanya. Kita nggak pernah mencoba untuk mencintai diri kita sendiri. Kita nggak pernah berdamai dengan apa yang udah Tuhan anugerahkan. Kita nggak sadar kalau kita lebih dari sekadar penampilan fisik. Dengan kata lain kita nggak  punya positive body image. Sebaliknya, kita lebih sering melakukan negative body image. Negative body image yang kita punya akhirnya membuat kita memiliki negative vibes. Hal inilah yang membuat kita dengan mudahnya melakukan body shaming terhadap wanita lainnya. 

Maka dari itu, kita perlu mempertegas bahwa cantik nggak hanya untuk mereka yang berkulit putih, tapi juga untuk mereka yang berkulit kuning langsat atau sawo matang. Cantik nggak  hanya untuk mereka yang berbadan langsing dan tinggi, tapi juga untuk mereka yang berbadan gemuk dan pendek. Cantik nggak hanya untuk mereka yang berambut lurus, tapi juga untuk mereka yang berambut ikal dan keriting. Semua wanita cantik dengan caranya sendiri, selama mereka nyaman dengan dirinya sendiri. 

Untuk kamu yang membaca tulisan ini, tolong ingat, bahwa semua bunga itu cantik, mereka unik satu dengan yang lainnya. Kamu tidak akan pernah bisa membandingkan kecantikan bunga mawar dan bunga melati. Begitu pula dengan bunga matahari dan bunga sakura. Sama seperti kamu. Kamu cantik dengan kulit mu yang sawo matang, kamu cantik dengan tubuh yang kamu bilang gendut itu, kamu cantik dengan hidung mungil mu, kamu cantik dengan segala kekurangan pada tubuhmu. Jangan merendahkan dirimu, sebab kamu jauh lebih berharga dari sekadar penampilan fisikmu.


Ditulis oleh :
Zahra Almadani
Mahasiswa Fisioterapi 
Fakultas Ilmu Kesehatan 
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Minggu, 10 Mei 2020

Akankah Terus Tersakiti ?

Pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seksual yang tidak diinginkan maupun karena pemaksaan dan perilaku yang lainnya merujuk pada tindakan verbal ataupun non verbal yang merujuk pada seks. Menurut Komnas Perempuan tindakan pelecehan seksual tidak hanya merujuk langsung pada fisik, namun tindakan tersebut dapat berupa siulan, colekan atau sentuhan pada tubuh, komentar bernuansa seksual dan main mata. Dan tentu hal tersebut pernah atau bahkan sering kita jumpai, tindakan tersebut termasuk tindakan yang dalam pemikiran erotis dan dapat mengakibatkan menurunnya martabat sebagai wanita dan dapat menimbulkan ketidaknyamanan.

Budaya Patriarki masih subur di negeri ini, wanita hanya dipandang sebagai kaum yang lemah dan bahkan menjadi kaum sampingan serta kaum yang dinomor duakan. Masih terdapat anggapan yang merujuk pada perilaku, bahwa wanita adalah sosok yang harus tunduk dalam segala hal. Sehingga melekat kuat pada adat istiadat tentang wanita yang harus tunduk akan norma yang berlaku,  akibatnya terjadilah pembatasan ruang gerak pada wanita. Pola pikir tersebut sangat berpengaruh pada martabat wanita, sehingga bisa dilihat hingga kini banyak wanita yang dilecehkan hingga menjadi korban kekerasan. Menurut data Komnas HAM 2019 terdapat 406.178 kasus pelecehan dan kekerasan pada perempuan, serta data naik 14% setiap tahunnya.  Kasus yang paling tinggi adalah pelecehan  seksual, eksploitasi seksual,pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, dll. 

Undang-undang pelecehan seksual diatur dalam KUHP, yang dimana pasalnya belum terdefinisi  secara tegas. Akibatnya setiap korban yang mengadu meminta keadilan, malah tersudutkan akan kasusnya dan berakhir pada mediasi damai antar korban dan pelaku. Lucu memang, dimana hak dan martabat yang dijunjung tinggi namun ditukar dengan kata maaf serta ganti rugi berupa uang. Hal inilah, yang menjadikan masih maraknya kasus-kasus pelecehan dan  kekerasan seksual masih tumbuh subur. Wanita ingin dilindungi, mereka juga manusia yang mempunyai hak untuk bebas dan menjaga kehormatan mereka. Tindakan yang erotis, timbul dari pikiran-pikiran erotis juga. Maka dari itu seyogyanya kita saling menghargai dan menghormati sesama tanpa memandang perbedaan Gender, Ras, Agama.

Ditulis oleh :
Aiyu Ahsinawati
Sekbid SPM 2019/2020
PK IMM FIK UMS