KAJIAN AKADEMI ISU
Speak Up and Make a Change: Titik temu Transportasi dan Tantangan dalam Sistem Kesehatan dalam RUU Omnibuslaw
Disusun Oleh :
Bidang Hikmah PK IMM FIK
Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Periodesasi 2022/2023
BAB I
LATAR BELAKANG
Segala puji dan
syukur ke hadirat Allah Subhanahu yang telah memberikan rahmat dan nikmat- Nya kepada kita, sehingga kita dapat hadir
dalam Rapat Paripurna DPR RI hari ini dalam rangka pengambilan keputusan atas penetapan RUU tentang Kesehatan
sebagai RUU Usul Inisiatif DPR. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad
Shollallahu 'Alaihi Wasallam, insan pilihan yang mengkhidmat
kebijaksanaan dan kesalehan sosial
sebagai tuntunan untuk memanusiakan manusia dalam bermasyarakat dengan berkeadilan dan
kesejahteraan. Sebagai salah satu upaya mewujudkan amanat konstitusi,
pemerintah harus menyelenggarakan
pelayanan kesehatan yang merata, adil dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan upaya untuk menjamin
akses kesehatan yang merata bagi semua penduduk dalam memperoleh pelayanan
kesehatan.
Indonesia sebagai
negara berkembang masih dihadapkan pada masalah rendahnya
akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan yang berkualitas. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan
belum mampu menjawab kompleksitas penyelenggaraan dan pembiayaan pelayanan kesehatan yang semakin tergantung pada
teknologi kesehatan yang semakin mahal dan rumit. Sistem pelayanan kesehatan yang padat teknologi
dan semakin mahal menuntut penanganan yang profesional yang diselenggarakan oleh institusI diselenggarakan
oleh institusi yang handal dan menuntut
metode penyelenggaraan yang mampu bekerja
efektif, efisien, dan sekaligus memuaskan.
Penyusunan
RUU tentang Kesehatan yang dibahas dengan metode omnibus law mewajibkan harus dilakukan secara menyeluruh, teliti,
dan melibatkan pemangku
kepentingan terkait (meaningful participation) sehingga tidak
ada pengaturan yang luput dan kontradiksi. Jangan sampai sebuah UU baru diundangkan sudah diuji ke MK atau tidak
lama kemudian harus direvisi atau
bahkan menimbulkan kontroversi dan polemik yang berl seperti UU No. 11 tahun
2020 tentang Cipta Kerja. Penyusunan RUU tentang Kesehatan seharusnya mencakup seluruh perbaikan dalam sistem kesehatan
di Indonesia, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
RUU
Omnibus Law Kesehatan sering kali menjadi perdebatan hangat dan kontroversial
karena dampaknya yang luas terhadap
sistem kesehatan dan masyarakat secara keseluruhan. Biasanya, RUU semacam ini berusaha untuk
menyederhanakan regulasi, merampingkan proses perizinan, meningkatkan investasi, dan mempercepat pembangunan infrastruktur kesehatan. Namun, mereka juga bisa
memiliki konsekuensi yang kompleks dan berpotensi controversial.
RUU
Omnibus Law Kesehatan diajukan dengan tujuan untuk mengubah dan menyederhanakan regulasi
terkait dengan sektor kesehatan. Namun, RUU semacam
ini sering kali menjadi perdebatan yang kontroversial karena dampaknya yang luas. Oleh karena itu, pemateri diharapkan untuk memberikan pemahaman yang
komprehensif tentang latar belakang RUU ini,
termasuk alasan mengapa
RUU ini diajukan, konteks sosial dan politik
di baliknya, serta perdebatan
yang muncul. Tujuan utama dari kajian ini adalah untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang
RUU Omnibus Law Kesehatan kepada para peserta
untuk menyajikan informasi yang akurat dan objektif
tentang RUU ini, termasuk analisis terperinci mengenai perubahan-perubahan yang diusulkan dan implikasinya terhadap
sektor kesehatan, praktisi
kesehatan, dan masyarakat
umum.
Isu-Isu utama yang
akan diahas pada kajian isu kali ini meliputi perubahan dalam peraturan perizinan, peningkatan investasi di sektor kesehatan, dampak terhadap layanan
kesehatan masyarakat, hak
akses terhadap pelayanan kesehatan, serta implikasi bagi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan. dalam analisis kajian
ini mencakup studi literatur, penelitian empiris, analisis kebijakan, wawancara dengan pemangku
kepentingan, atau pendekatan lain yang relevan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. UU NO 38 TAHUN 2014 TENTANG KEPERAWATAN
Perawat menurut UU 38 tahun 2014 tentang Keperawatan adalah seseorang
yang telah lulus pendidikan tinggi Keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan. Keperawatan adalah kegiatan
pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik
dalam keadaan sakit maupun sehat.
Pelayanan
Keperawatan dalam UU 38 tahun 2014 tentang Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada individu,
keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit.
dibentuk Undang-Undang tentang Keperawatan untuk memberikan kepastian
hukum dan pelindungan hukum serta untuk
meningkatkan, mengarahkan, dan menata berbagai perangkat hukum yang mengatur
penyelenggaraan Keperawatan dan Praktik Keperawatan yang bertanggung jawab, akuntabel, bermutu,
dan aman sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Undang-Undang ini memuat pengaturan mengenai jenis perawat, pendidikan tinggi keperawatan, registrasi,
izin praktik, dan registrasi ulang, praktik keperawatan, hak dan kewajiban bagi perawat dan klien, kelembagaan yang
terkait dengan perawat (seperti organisasi
profesi, kolegium, dan konsil), pengembangan, pembinaan, dan pengawasan bagi perawat, serta sanksi
administratif.
A. Pasal 18 tentang STR :
a. Ayat 1 Perawat yang menjalankan praktik wajib memiliki STR
b. Ayat 4 STR berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang setiap 5 tahun
Kebijakan
Pemberlakuan surat tanda registrasi (STR) bagi perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan diberlakukan sehubungan dengan dikeluarkannya Standar Kompetensi
Perawat Indonesia oleh PPNI melalui Surat Keputusan
Ketua Umum nomor 024/PP.PPNI/SK/K/XII/2009, tentang
Standar Kompetensi Perawat Indonesia. Kebijakan ini didukung terutama dengan dikeluarkannya Permenkes No. 46 tahun 2013
dan dilanjutkan dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No.38 tahun 2014 tentang
Keperawatan.
Dengan adanya standar kompetensi tersebut, maka diharapkan perawat yang
telah memiliki STR memiliki
kompetensi yang sesuai dengan yang seharusnya. Disamping itu, STR juga sebagai jaminan
legalisasi setiap tindakan
keperawatan sesuai kompetensi dan kewenangan yang dimilikinya.
Masalah
yang dihadapi oleh banyak lulusan saat ini adalah lambatnya proses pengeluaran
STR, dan ribetnya prosedur pengurusan
STR, hal ini mengakibatkan setelah lulus perkuliahan, perawat cenderung menganggur cukup lama, karena tidak bisa bekerja
bila belum memiliki
STR. Sedangkan syarat untuk perpanjangan STR yang harus dilakukan setiap 5 (lima) tahun, pemerintah memberlakukan kebijakan adanya
pencapaian satuan kredit profesi (SKP) sebanyak 25 skp melalui partisipasi perawat dalam kegiatan pendidikan
dan/atau pelatihan serta kegiatan ilmiah lainnya sesuai dengan bidang tugasnya atau profesinya.
Menurut Undang-Undang No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan, penerbitan STR adalah merupakan wewenang
Konsil Keperawatan. Namun saat ini, Konsil Keperawatan belum terbentuk,
sehingga penerbitan STR bagi perawat masih merupakan tanggung jawab Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia
(MTKI), yang pengajuannya dapat dilakukan melalui
Majelis Tenaga Kesehatan
Propinsi (MTKP) daerah domisili perawat.
Dengan adanya prosedur
demikian, yaitu melalui Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi, penerbitan
STR menjadi terkesan lambat, dimana MTKP harus menginput data dan memverifikasi, kemudian mengirimkan softcopy dan pas foto ke MTKI, kemudian menunggu persetujuan
dari MTKI yaitu dengan dikirimkannya Surat Tanda Registrasi tersebut ke propinsi
untuk dapat diambil
yang bersangkutan.
Perlunya disusun
regulasi yang baru terkait penerbitan STR, menunggu Konsil Keperawatan terbentuk. Saat ini sudah diberlakukan
registrasi online, namun dikarenakan perawat tetap harus melapor setelah registrasi online, serta MTKP tetap harus menunggu
pengiriman STR dari MTKI, maka prosedur tetap lambat. Oleh karena itu, perlu diberlakukan suatu kebijakan waktu
pengurusan STR sejak perawat
melakukan registrasi online sampai
STR dapat diambil dari MTKP.
Peninjauan ulang kebijakan pencapaian SKP, dikarenakan tidak tepat menjadi
standar pemberlakuan
pencapaian standar kompetensi keperawatan. Disamping itu, sebaiknya dilakukan pengawasan penerbitan sertifikat
sertifikat oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) untuk mencegah terjadinya penerbitan
sertifikat tanpa dihadiri oleh perawat yang bersangkutan dan diadakan kebijakan
standarisasi biaya seminar/workshop/pelatihan sehingga
tidak memberatkan perawat serta
meningkatkan minat untuk update
ilmu.
2. Pasal 314 RUU Kesehatan Omnibuslow
Isu pertama
terkait marginalisasi organisasi profesi dianggap akan mengamputasi peran organisasi
profesi. Dalam Pasal 314 ayat (2) disebutkan bahwa setiap jenis tenaga
kesehatan hanya dapat membentuk
satu organisasi profesi.
"Setiap kelompok
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
hanya dapat membentuk
1 (satu) Organisasi Profesi."
Namun
dalam Pasal 193 terdapat 10 jenis tenaga kesehatan, yang kemudian terbagi lagi
atas beberapa kelompok. Dengan demikian, total kelompok tenaga kesehatan ada 48.
Pihak yang menolak RUU tersebut dibuat bingung
pilihan apa yang akan diambil pembuat kebijakan. Apakah satu organisasi profesi untuk seluruh
jenis tenaga kesehatan, atau satu organisasi profesi untuk menaungi
setiap jenis tenaga kesehatan.
Itu
karena dokter dan dokter gigi, atau dokter umum dan dokter spesialis
masing-masing punya peran yang
berbeda dan visi misinya pun berbeda. Bila digabungkan semua, maka organisasi profesi
akan sangat gemuk dan rancu.
RUU
Kesehatan dinilai juga akan mencabut peran organisasi profesi lantaran untuk
praktik, bila RUU Kesehatan disahkan,
maka nakes hanya perlu menyertakan Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik dan bukti pemenuhan
kompetensi. Tidak diperlukan lagi surat keterangan sehat dan rekomendasi organisasi profesi. Padahal rekomendasi
organisasi profesi akan menunjukkan calon nakes yang akan praktik itu sehat dan tidak punya masalah etik dan moral sebelumnya.
3. Pasal 235 RUU Kesehatan Omnibuslow
Tiadanya Peran Organisasi Profesi
pada pasal 235 draf RUU Omnibus Law Kesehatan, tidak disebutkan
mengenai dibutuhkannya rekomendasi organisasi profesi untuk mendapatkan Surat Izin Praktik
(SIP). Ini dapat dimanfaatkan untuk meniadakan peran organisasi profesi.
Padahal seharusnya untuk mendapatkan SIP diperlukan rekomendasi dari organisasi profesi
karena terdapat tenaga kesehatan yang ahli dibidangnya.
a. Pemerintah memiliki kewenangan yang besar dan tidak terkontrol dalam mengatur perizinan profesi kesehatan pada pasal 235 draf RUU Omnibus Law Kesehatan, tidak disebutkan mengenai dibutuhkan rekomendasi organisasi profesi untuk mendapatakan surat izin praktik (SIP). Ini dapat dimanfaatkan untuk meniadakan peran organisasi profesi. Padahal seharusnya untuk mendapatkan SIP diperlukan rekomendasi dari organisasi profesi karena terdapat tenaga kesehatan yang ahli dibidangnya.
b. Kerancunan terhadap wewenang penilaian tidak disebutkan secara jelas tentang batasan siapa yang berwenang memberi evaluasi melaluo penilaian portofolio. Sehingga terdapat celah untuk meloloskan perizinan dengan mengatur evaluasi kompetensi
c. Kemudahan izin dokter asing
Secara sederhana, RUU Kesehatan memberikan batasan bagi dokter asing maupun dokter diaspora yang mau beroperasi di dalam negeri. Batasan yang dimaksud adalah syarat memiliki surat tanda registrasi sementara, surat izin praktek, dan syarat minimal praktek. Namun seluruh aturan tersebut dapat diterobos jika dokter asing dan dokter diaspora tersebut telah lulus pendidikan spesialis. "Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 234, bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang telah praktik sebagai spesialis atau subspesialis paling sedikit 5 tahun di luar negeri," seperti tertulis dalam pasal 235 draft RUU kesehatan.
4. Pasal 236 RUU Kesehatan Omnibuslow
bunyi
Pasal 236 Ayat 1a: ”Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan WNA dapat melakukan
praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia dalam rangka investasi atau non-investasi, dengan ketentuan: terdapat permintaan dari pengguna Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing”.
”Pengguna” dapat ditafsirkan bahwa siapa pun, baik institusi
maupun perseorangan, bisa mendatangkan
dokter asing. Apa memang demikian?
Bukankah ini suatu bentuk liberalisasi pelayanan
kesehatan? Perlu diingat juga, investasi
asing di bidang kesehatan dan masuknya tenaga
kesehatan dapat berpengaruh terhadap kedaulatan negara.
Selain
itu pada Pasal 236, tenaga medis dan tenaga kesehatan WNA dapat melakukan
praktik pada fasilitas pelayanan
kesehatan, dengan ketentuan terdapat permintaan dari pengguna, atau otoritas
rumah sakit dalam rangka
alih teknologi dan ilmu pengetahuan.
Tenaga
medis asing juga dipekerjakan untuk jangka waktu tertentu. Selain itu juga
tercantum bahwa pengguna yang
melakukan permintaan harus mengutamakan penggunaan tenaga medis dan tenaga kesehatan
warga negara Indonesia
yang memenuhi standar
kompetensi terlebih dahulu.
Tenaga medis dan tenaga kesehatan WNA juga dapat memberikan pelayanan
kesehatan di daerah
yang tidak diminati,
contohnya daerah tertinggal serta daerah konflik.
Terlepas
dari segala bentuk pro dan kontra terhadap pembahasan RUU Kesehatan yang kini bergulir di Komisi IX DPR RI, upaya
mengemukakan pendapat di muka umum adalah hak
konstitusi setiap warga negara.
5. Pasal 422 RUU Kesehatan Omnibuslow
BPJS
memiliki tingkatan pembayaran. Dan
pelayanan pasien BPJS di rs
disesuaikan dengan class pasien tersebut . Berarti tidak
sesuai dengan sila ke 5, kalau kita melihat sila ke 5 Pancasila (keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia) "ada diskriminasi hak antara si miskin dan si kaya". Padahal tujuan BPJS adalah
untuk membantu meringankan biaya kesehatan masyarakat yang mungkin dinilai belum sanggup membayar biaya kesehatan di
RS. Jikalau disistem class itu sangat
tidak adil, akan terlihat yang dapet kelas >3 keatas pasti itu pasien mampu
dan biasanya fasilitasnya beda dengan
pasien yang kelas 1. Memang dari segi iuran mereka berbeda tapi sangatlah
tidak etis jika ditinjau dari kacamata
humanisme.
Masyarakat kadang milih non-BPJS/umum karna pelayanan pasien BPJS sangatlah
lama. Asuransi komersial itu
kan adalah asuransi perlindungan finansial yang dikelola oleh perusahaan asuransi swasta dan bisa dibeli secara
bebas dengan premi asuransi yang bervariasi. Menurut sy jika disistem sukarela ini kurang baik. Meski perusahaan swasta
berhak mengatur bagaimana pengelolaannya
sendiri,tapi pekerja swasta juga penduduk. Sebagaimana pada ayat 1. Penduduk diwajibkan membayar BPJS. Meski perusahaan itu swasta, perusahaan tetap harus punya tanggungjawab untuk memberi asuransi
utk pekerjanya.
BAB III
KESIMPULAN
Dengan ini secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa RUU Kesehatan
Omnibuslow berpotensi
menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia jika aturan-aturan hukum di dalamnya masih bermasalah secara substansial dan disahkan di kemudian hari. Untuk itu diperlukan peninjauan ulang secara menyeluruh
khususnya dengan cara mensinkronisasinya dengan aturan hukum HAM Internasional yang ada saat ini agar dapat keluar dari
jebakan logika kolonialisme yang menyelubung dalam RUU Kesehatan
Omnibuslow.