Rabu, 13 September 2023

Kajian Akademi Isu

 KAJIAN AKADEMI ISU

 

Speak Up and Make a Change: Titik temu Transportasi dan Tantangan dalam Sistem Kesehatan dalam RUU Omnibuslaw 

Disusun Oleh    :

Bidang Hikmah PK IMM FIK


Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Periodesasi 2022/2023



BAB I

LATAR BELAKANG

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu yang telah memberikan rahmat dan nikmat- Nya kepada kita, sehingga kita dapat hadir dalam Rapat Paripurna DPR RI hari ini dalam rangka pengambilan keputusan atas penetapan RUU tentang Kesehatan sebagai RUU Usul Inisiatif DPR. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shollallahu 'Alaihi Wasallam, insan pilihan yang mengkhidmat kebijaksanaan dan kesalehan sosial sebagai tuntunan untuk memanusiakan manusia dalam bermasyarakat dengan berkeadilan dan kesejahteraan. Sebagai salah satu upaya mewujudkan amanat konstitusi, pemerintah harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang merata, adil dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan upaya untuk menjamin akses kesehatan yang merata bagi semua penduduk dalam memperoleh pelayanan kesehatan.

Indonesia sebagai negara berkembang masih dihadapkan pada masalah rendahnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan belum mampu menjawab kompleksitas penyelenggaraan dan pembiayaan pelayanan kesehatan yang semakin tergantung pada teknologi kesehatan yang semakin mahal dan rumit. Sistem pelayanan kesehatan yang padat teknologi dan semakin mahal menuntut penanganan yang profesional yang diselenggarakan oleh institusI diselenggarakan oleh institusi yang handal dan menuntut metode penyelenggaraan yang mampu bekerja efektif, efisien, dan sekaligus memuaskan.

Penyusunan RUU tentang Kesehatan yang dibahas dengan metode omnibus law mewajibkan harus dilakukan secara menyeluruh, teliti, dan melibatkan pemangku kepentingan terkait (meaningful participation) sehingga tidak ada pengaturan yang luput dan kontradiksi. Jangan sampai sebuah UU baru diundangkan sudah diuji ke MK atau tidak lama kemudian harus direvisi atau bahkan menimbulkan kontroversi dan polemik yang berl seperti UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Penyusunan RUU tentang Kesehatan seharusnya mencakup seluruh perbaikan dalam sistem kesehatan di Indonesia, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

RUU Omnibus Law Kesehatan sering kali menjadi perdebatan hangat dan kontroversial karena dampaknya yang luas terhadap sistem kesehatan dan masyarakat secara keseluruhan. Biasanya, RUU semacam ini berusaha untuk menyederhanakan regulasi, merampingkan proses perizinan, meningkatkan investasi, dan mempercepat pembangunan infrastruktur kesehatan. Namun, mereka juga bisa memiliki konsekuensi yang kompleks dan berpotensi controversial.

RUU Omnibus Law Kesehatan diajukan dengan tujuan untuk mengubah dan menyederhanakan regulasi terkait dengan sektor kesehatan. Namun, RUU semacam ini sering kali menjadi perdebatan yang kontroversial karena dampaknya yang luas. Oleh karena itu, pemateri diharapkan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang latar belakang RUU ini, termasuk alasan mengapa RUU ini diajukan, konteks sosial dan politik di baliknya, serta perdebatan yang muncul. Tujuan utama dari kajian ini adalah untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang RUU Omnibus Law Kesehatan kepada para peserta untuk menyajikan informasi yang akurat dan objektif tentang RUU ini, termasuk analisis terperinci mengenai perubahan-perubahan yang diusulkan dan implikasinya terhadap sektor kesehatan, praktisi kesehatan, dan masyarakat umum.

Isu-Isu utama yang akan diahas pada kajian isu kali ini meliputi perubahan dalam peraturan perizinan, peningkatan investasi di sektor kesehatan, dampak terhadap layanan kesehatan masyarakat, hak akses terhadap pelayanan kesehatan, serta implikasi bagi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan. dalam analisis kajian ini mencakup studi literatur, penelitian empiris, analisis kebijakan, wawancara dengan pemangku kepentingan, atau pendekatan lain yang relevan.


BAB II

PEMBAHASAN

1.    UU NO 38 TAHUN 2014 TENTANG KEPERAWATAN

Perawat menurut UU 38 tahun 2014 tentang Keperawatan adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi Keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik dalam keadaan sakit maupun sehat.

Pelayanan Keperawatan dalam UU 38 tahun 2014 tentang Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit.

dibentuk Undang-Undang tentang Keperawatan untuk memberikan kepastian hukum dan pelindungan hukum serta untuk meningkatkan, mengarahkan, dan menata berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan Keperawatan dan Praktik Keperawatan yang bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, dan aman sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Undang-Undang ini memuat pengaturan mengenai jenis perawat, pendidikan tinggi keperawatan, registrasi, izin praktik, dan registrasi ulang, praktik keperawatan, hak dan kewajiban bagi perawat dan klien, kelembagaan yang terkait dengan perawat (seperti organisasi profesi, kolegium, dan konsil), pengembangan, pembinaan, dan pengawasan bagi perawat, serta sanksi administratif.

A.    Pasal 18 tentang STR    :

        a. Ayat 1 Perawat yang menjalankan praktik wajib memiliki STR

        b. Ayat 4 STR berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang setiap 5 tahun

Kebijakan Pemberlakuan surat tanda registrasi (STR) bagi perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan diberlakukan sehubungan dengan dikeluarkannya Standar Kompetensi Perawat Indonesia oleh PPNI melalui Surat Keputusan Ketua Umum nomor 024/PP.PPNI/SK/K/XII/2009, tentang Standar Kompetensi Perawat Indonesia. Kebijakan ini didukung terutama dengan dikeluarkannya Permenkes No. 46 tahun 2013 dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan.

Dengan adanya standar kompetensi tersebut, maka diharapkan perawat yang telah memiliki STR memiliki kompetensi yang sesuai dengan yang seharusnya. Disamping itu, STR juga sebagai jaminan legalisasi setiap tindakan keperawatan sesuai kompetensi dan kewenangan yang dimilikinya.

Masalah yang dihadapi oleh banyak lulusan saat ini adalah lambatnya proses pengeluaran STR, dan ribetnya prosedur pengurusan STR, hal ini mengakibatkan setelah lulus perkuliahan, perawat cenderung menganggur cukup lama, karena tidak bisa bekerja bila belum memiliki STR. Sedangkan syarat untuk perpanjangan STR yang harus dilakukan setiap 5 (lima) tahun, pemerintah memberlakukan kebijakan adanya pencapaian satuan kredit profesi (SKP) sebanyak 25 skp melalui partisipasi perawat dalam kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan serta kegiatan ilmiah lainnya sesuai dengan bidang tugasnya atau profesinya.

Menurut Undang-Undang No.38 tahun 2014 tentang Keperawatan, penerbitan STR adalah merupakan wewenang Konsil Keperawatan. Namun saat ini, Konsil Keperawatan belum terbentuk, sehingga penerbitan STR bagi perawat masih merupakan tanggung jawab Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI), yang pengajuannya dapat dilakukan melalui Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi (MTKP) daerah domisili perawat. Dengan adanya prosedur demikian, yaitu melalui Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi, penerbitan STR menjadi terkesan lambat, dimana MTKP harus menginput data dan memverifikasi, kemudian mengirimkan softcopy dan pas foto ke MTKI, kemudian menunggu persetujuan dari MTKI yaitu dengan dikirimkannya Surat Tanda Registrasi tersebut ke propinsi untuk dapat diambil yang bersangkutan.

Perlunya disusun regulasi yang baru terkait penerbitan STR, menunggu Konsil Keperawatan terbentuk. Saat ini sudah diberlakukan registrasi online, namun dikarenakan perawat tetap harus melapor setelah registrasi online, serta MTKP tetap harus menunggu pengiriman STR dari MTKI, maka prosedur tetap lambat. Oleh karena itu, perlu diberlakukan suatu kebijakan waktu pengurusan STR sejak perawat melakukan registrasi online sampai STR dapat diambil dari MTKP.

Peninjauan ulang kebijakan pencapaian SKP, dikarenakan tidak tepat menjadi standar pemberlakuan pencapaian standar kompetensi keperawatan. Disamping itu, sebaiknya dilakukan pengawasan penerbitan sertifikat sertifikat oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) untuk mencegah terjadinya penerbitan sertifikat tanpa dihadiri oleh perawat yang bersangkutan dan diadakan kebijakan standarisasi biaya seminar/workshop/pelatihan sehingga tidak memberatkan perawat serta meningkatkan minat untuk update ilmu.

2.    Pasal 314 RUU Kesehatan Omnibuslow 

Isu pertama terkait marginalisasi organisasi profesi dianggap akan mengamputasi peran organisasi profesi. Dalam Pasal 314 ayat (2) disebutkan bahwa setiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi.

"Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi."

Namun dalam Pasal 193 terdapat 10 jenis tenaga kesehatan, yang kemudian terbagi lagi atas beberapa kelompok. Dengan demikian, total kelompok tenaga kesehatan ada 48.

Pihak yang menolak RUU tersebut dibuat bingung pilihan apa yang akan diambil pembuat kebijakan. Apakah satu organisasi profesi untuk seluruh jenis tenaga kesehatan, atau satu organisasi profesi untuk menaungi setiap jenis tenaga kesehatan.

Itu karena dokter dan dokter gigi, atau dokter umum dan dokter spesialis masing-masing punya peran yang berbeda dan visi misinya pun berbeda. Bila digabungkan semua, maka organisasi profesi akan sangat gemuk dan rancu.

RUU Kesehatan dinilai juga akan mencabut peran organisasi profesi lantaran untuk praktik, bila RUU Kesehatan disahkan, maka nakes hanya perlu menyertakan Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik dan bukti pemenuhan kompetensi. Tidak diperlukan lagi surat keterangan sehat dan rekomendasi organisasi profesi. Padahal rekomendasi organisasi profesi akan menunjukkan calon nakes yang akan praktik itu sehat dan tidak punya masalah etik dan moral sebelumnya.

3.    Pasal 235 RUU Kesehatan Omnibuslow 

Tiadanya Peran Organisasi Profesi 

pada pasal 235 draf RUU Omnibus Law Kesehatan, tidak disebutkan mengenai dibutuhkannya rekomendasi organisasi profesi untuk mendapatkan Surat Izin Praktik (SIP). Ini dapat dimanfaatkan untuk meniadakan peran organisasi profesi. Padahal seharusnya untuk mendapatkan SIP diperlukan rekomendasi dari organisasi profesi karena terdapat tenaga kesehatan yang ahli dibidangnya.

a.    Pemerintah memiliki kewenangan yang besar dan tidak terkontrol dalam mengatur perizinan profesi kesehatan pada pasal 235 draf RUU Omnibus Law Kesehatan, tidak disebutkan mengenai dibutuhkan rekomendasi organisasi profesi untuk mendapatakan surat izin praktik (SIP). Ini dapat dimanfaatkan untuk meniadakan peran organisasi profesi. Padahal seharusnya untuk mendapatkan SIP diperlukan rekomendasi dari organisasi profesi karena terdapat tenaga kesehatan yang ahli dibidangnya. 

b.    Kerancunan terhadap wewenang penilaian tidak disebutkan secara jelas tentang batasan siapa yang berwenang memberi evaluasi melaluo penilaian portofolio. Sehingga terdapat celah untuk meloloskan perizinan dengan mengatur evaluasi kompetensi

c.    Kemudahan izin dokter asing

Secara sederhana, RUU Kesehatan memberikan batasan bagi dokter asing maupun dokter diaspora yang mau beroperasi di dalam negeri. Batasan yang dimaksud adalah syarat memiliki surat tanda registrasi sementara, surat izin praktek, dan syarat minimal praktek. Namun seluruh aturan tersebut dapat diterobos jika dokter asing dan dokter diaspora tersebut telah lulus pendidikan spesialis. "Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 234, bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang telah praktik sebagai spesialis atau subspesialis paling sedikit 5 tahun di luar negeri," seperti tertulis dalam pasal 235 draft RUU kesehatan.

4.    Pasal 236 RUU Kesehatan Omnibuslow

bunyi Pasal 236 Ayat 1a: ”Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan WNA dapat melakukan praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia dalam rangka investasi atau non-investasi, dengan ketentuan: terdapat permintaan dari pengguna Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing”.

”Pengguna” dapat ditafsirkan bahwa siapa pun, baik institusi maupun perseorangan, bisa mendatangkan dokter asing. Apa memang demikian? Bukankah ini suatu bentuk liberalisasi pelayanan kesehatan? Perlu diingat juga, investasi asing di bidang kesehatan dan masuknya tenaga kesehatan dapat berpengaruh terhadap kedaulatan negara.

Selain itu pada Pasal 236, tenaga medis dan tenaga kesehatan WNA dapat melakukan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan, dengan ketentuan terdapat permintaan dari pengguna, atau otoritas rumah sakit dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan.

Tenaga medis asing juga dipekerjakan untuk jangka waktu tertentu. Selain itu juga tercantum bahwa pengguna yang melakukan permintaan harus mengutamakan penggunaan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara Indonesia yang memenuhi standar kompetensi terlebih dahulu.

Tenaga medis dan tenaga kesehatan WNA juga dapat memberikan pelayanan kesehatan di daerah yang tidak diminati, contohnya daerah tertinggal serta daerah konflik.

Terlepas dari segala bentuk pro dan kontra terhadap pembahasan RUU Kesehatan yang kini bergulir di Komisi IX DPR RI, upaya mengemukakan pendapat di muka umum adalah hak konstitusi setiap warga negara.

5.    Pasal 422 RUU Kesehatan Omnibuslow

BPJS memiliki tingkatan pembayaran. Dan pelayanan pasien BPJS di rs disesuaikan dengan class pasien tersebut . Berarti tidak sesuai dengan sila ke 5, kalau kita melihat sila ke 5 Pancasila (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) "ada diskriminasi hak antara si miskin dan si kaya". Padahal tujuan BPJS adalah untuk membantu meringankan biaya kesehatan masyarakat yang mungkin dinilai belum sanggup membayar biaya kesehatan di RS. Jikalau disistem class itu sangat tidak adil, akan terlihat yang dapet kelas >3 keatas pasti itu pasien mampu dan biasanya fasilitasnya beda dengan pasien yang kelas 1. Memang dari segi iuran mereka berbeda tapi sangatlah tidak etis jika ditinjau dari kacamata humanisme.

Masyarakat kadang milih non-BPJS/umum karna pelayanan pasien BPJS sangatlah lama. Asuransi komersial itu kan adalah asuransi perlindungan finansial yang dikelola oleh perusahaan asuransi swasta dan bisa dibeli secara bebas dengan premi asuransi yang bervariasi. Menurut sy jika disistem sukarela ini kurang baik. Meski perusahaan swasta berhak mengatur bagaimana pengelolaannya sendiri,tapi pekerja swasta juga penduduk. Sebagaimana pada ayat 1. Penduduk diwajibkan membayar BPJS. Meski perusahaan itu swasta, perusahaan tetap harus punya tanggungjawab untuk memberi asuransi utk pekerjanya.

BAB III

KESIMPULAN 

Dengan ini secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa RUU Kesehatan Omnibuslow berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia jika aturan-aturan hukum di dalamnya masih bermasalah secara substansial dan disahkan di kemudian hari. Untuk itu diperlukan peninjauan ulang secara menyeluruh khususnya dengan cara mensinkronisasinya dengan aturan hukum HAM Internasional yang ada saat ini agar dapat keluar dari jebakan logika kolonialisme yang menyelubung dalam RUU Kesehatan Omnibuslow.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar